100% untuk 100%

Urusan hidup ini bukan cuma soal untung-rugi. Bukan pula soal kalkulasi dagang. Tapi ini soal keseimbangan. Soal kewajaran. Soal fitrah. Kita ini, diciptakan oleh-Nya, dengan segala energi dan potensi. Kita diberi hati, pikiran, dan tenaga. Lantas, mau kita habiskan untuk apa semua itu?

"Jangan kasih 100% ke orang yang cuma kasih 10%" ini, kalau dipikir-pikir, bukan nasihat pelit. Ini bukan ajaran untuk hitung-hitungan. Ini adalah ajaran untuk menghargai diri sendiri, yang juga merupakan anugerah dari Tuhan.

Cinta itu, teman, bukan hanya soal memberi. Cinta yang sejati itu soal saling menerima dan saling memuliakan. Kalau kau kasih 100%, tapi yang kau terima cuma 10%, itu namanya bukan cinta, itu namanya pengorbanan tanpa hikmah. Itu seperti kau menuangkan air dari kendi yang penuh ke tanah yang kering, padahal kendi itu juga butuh diisi ulang.

Energi kita ini, seperti air dalam kendi itu. Ia punya batas. Kalau terus-terusan kita curahkan tanpa ada yang mengisi, kita akan kering, kita akan retak, bahkan hancur. Ini bukan tentang membalas, tapi tentang menjaga amanah dari Gusti Allah, yaitu menjaga diri kita sendiri.

Coba renungkan, kenapa ada orang yang bisa terus-menerus memberi tanpa balas, sampai ia sendiri habis? Kadang, itu bukan karena ia sangat mencintai, tapi karena ia takut. Takut kehilangan, takut sendirian, atau bahkan takut tidak berguna. Jadi, ia terus memberi, bukan karena kemuliaan, tapi karena ketakutan. Ia menjadi tawanan dari harapannya sendiri.

Batasan itu, teman, adalah bentuk kemandirian batin. Ia adalah pagar yang kita bangun bukan untuk mengurung orang lain, melainkan untuk memerdekakan diri kita sendiri dari belenggu ketergantungan dan harapan yang berlebihan.

Ketika kita berani mengatakan "tidak" pada ketidakseimbangan, itu bukan berarti kita egois. Itu berarti kita sedang menegakkan marwah kita sebagai hamba yang berakal. Kita sedang berkata pada semesta, dan pada diri sendiri, bahwa kita berhak diperlakukan dengan setara, dengan rasa hormat yang setimpal.

Akhirnya, semua kembali kepada-Nya.

Mengapa kita harus menjaga energi dan diri kita? Karena semua yang kita miliki adalah pinjaman dari-Nya. Tubuh ini, hati ini, akal ini. Semuanya adalah alat untuk beribadah dan mencari makna.

Ketika kita habis karena memberi pada yang tidak menghargai, kita bukan hanya mengkhianati diri sendiri, tapi juga menyia-nyiakan anugerah-Nya.

Maka, belajar lah untuk meletakkan cinta pada tempatnya. Kasihlah 100% kepada mereka yang juga tulus memberi. Dan jika tidak, pelan-pelanlah. Mundurlah. Bukan karena membenci, tapi karena mencintai diri sendiri sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Maka, nasihat ini bukan sekadar manajemen hubungan. Ini adalah ajakan untuk kembali kepada keseimbangan fitrah, kepada kemandirian batin, dan akhirnya, kepada jalan cinta yang benar, yang tidak hanya menguras, tapi juga mengisi.

Postingan populer dari blog ini

Mendobrak pakem rigid institusi pendidikan.

Janji saya yang telah mencederai Ramadan

The kitchen of politics and our plate.