Bapak
Saya yakin, tak pernah saya merasakan kesedihan sesakit ini sebelumnya. Ketika bulan suci menyisakan tiga hari menuju kemenangan, waktu seolah berhenti sejenak. Hari itu menjadi titik temu antara kehidupan dan keabadian. Bapak pergi, pulang ke pangkuan Allah. Pergi di hari yang baik, Jumat. Pergi di bulan yang baik, Ramadan.
Tepat saat semua anak cucunya berkumpul di kampung halaman. Lebaran yang dirindukan, yang membawa harapan akan kebersamaan lengkap satu keluarga, justru menjadi perpisahan yang tak terucap. Bapak pergi di saat suci, di hari mulia; di bulan mulia, seolah menegaskan bahwa kemenangan sejati bukanlah tentang bertahan di dunia, melainkan tentang pulang dengan damai ke asal dari segalanya. Lebaran, yang bagi kita adalah simbol kemenangan atas diri, bagi bapak menjadi kemenangan abadi dalam pelukan Ilahi.
Kehilangan ini mengajarkan saya tentang rapuhnya waktu dan kuatnya ikatan. Keluarga yang berkumpul, meski tak lagi utuh secara jasmani, tetap terhubung dalam doa dan kenangan. Mungkin, dalam diamnya lebaran kali ini, saya belajar bahwa kebersamaan sejati tidak selalu tentang duduk bersama di satu ruangan, tetapi tentang hati yang saling merindu, bahkan ketika satu jiwa telah melintasi batas dunia.
Bapak telah kembali dalam ketenangan. Ia telah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang ayah, suami, kakek, hamba Allah, dan segala perannya dimainkan dengan baik. Saya bersaksi akan hal itu. Kami yang ditinggalkan hanya bisa berdoa, agar amalan-amalannya diterima, dosa-dosanya diampuni, dan kuburnya dilapangkan. Tugas bapak di dunia telah purna. Selanjutnya semoga saya menjadi penyambung amalan jariyah bapak di akhirat.
Di hari kemenangan, kami diajak untuk tersenyum, meski air mata masih menggenang, karena setiap perpisahan adalah janji akan pertemuan yang lebih agung di sisi-Nya.