"Your English is so good" dan kekuatan daya tawar Indonesia.
Ketika dunia masih berputar dengan hiruk-pikuknya, sebuah percakapan telepon antara dua pemimpin menggema di satu ruang. Donald Trump, dengan nada khasnya yang penuh percaya diri, berkata kepada Prabowo Subianto, “Your English is so good.” Kalimat itu, sekilas sederhana, seperti angin yang berhembus lembut namun membawa aroma yang mengusik. Bagi sebagian orang, ucapan itu terdengar seperti pujian tulus. Namun, bagi yang lain, ia seperti cermin yang memantulkan bayangan ekspektasi rendah, seolah-olah keberhasilan seorang presiden Indonesia berbahasa Inggris adalah kejutan yang patut dirayakan. Di balik kata-kata itu, tersimpan lapisan makna yang lebih dalam—tentang hubungan antarnegara, tentang kekuatan tawar, dan tentang bagaimana dunia memandang kita, Indonesia.
Bayangkan sebuah pasar besar, tempat para pedagang dari berbagai penjuru dunia berkumpul. Di pasar itu, Indonesia berdiri dengan segala kekayaannya: nikel yang berkilau, hutan yang masih cukup merdu bernyanyi, cadangan minyak mentah yang boleh dikata melimpah, dan bonus demografi kita. Namun, di hadapan pedagang besar bernama Amerika Serikat, Indonesia sering kali dipandang sebagai mitra yang “menjanjikan” namun belum sepenuhnya setara. Kata-kata Trump "Your English is so good", entah disengaja atau tidak, seperti menggarisbawahi persepsi itu. Dalam kajian hubungan internasional, fenomena ini bukan sekadar soal kalimat yang terlontar, melainkan cerminan power asymmetry—ketimpangan kekuatan yang kerap mewarnai interaksi antarnegara.
Fenomena “Your English is So Good” dalam Kacamata Hubungan Internasional
Dalam dunia diplomasi, kata-kata bukan sekadar suara yang mengalir. Ia adalah simbol, pesan, dan bahkan kadang-kadang senjata mematikan. Ketika Trump mengucapkan “Your English is so good” pada November 2024, banyak yang menangkapnya sebagai pujian yang tidak perlu, bahkan merendahkan. Dalam teori hubungan internasional, khususnya pendekatan realisme, interaksi antarnegara selalu diwarnai oleh kepentingan dan persepsi kekuatan. Trump, sebagai pemimpin negara adidaya, mungkin tanpa sadar (atau justru dengan sengaja) menempatkan Indonesia dalam posisi subordinasi melalui kalimat tersebut. Ini bukan soal bahasa Inggris itu sendiri, tetapi tentang bagaimana persepsi “kejutan” itu mencerminkan ekspektasi rendah terhadap kemampuan Indonesia di panggung global.
Pendekatan konstruktivisme dalam hubungan internasional menawarkan sudut pandang lain. Identitas dan norma memainkan peran besar dalam membentuk hubungan antarnegara. Kalimat Trump bisa dilihat sebagai cerminan norma Barat-sentris, di mana kemampuan berbahasa Inggris dianggap sebagai tolok ukur “kemajuan” suatu bangsa. Indonesia, dengan kekayaan budaya dan sejarahnya, seolah-olah dinilai dengan kacamata yang sempit, yang tidak sepenuhnya memahami kompleksitas identitasnya. Ucapan itu, meski ringan, menggambarkan bagaimana negara-negara Global South kerap dipandang melalui lensa stereotip oleh negara-negara utara.
Namun, jangan terburu-buru, mari kita sedikit berkhusnudzon. Dalam dunia diplomasi, interaksi semacam ini juga bisa menjadi peluang. Prabowo, dengan latar belakang militernya dan pengalaman politiknya, menjawab dengan cerdas, “All my training is American, Sir.” Jawaban ini bukan sekadar tawa ringan, tetapi sebuah pengingat halus bahwa Indonesia bukanlah pemain baru di panggung internasional. Ia memiliki sejarah panjang berinteraksi dengan Amerika, bahkan sejak era Soeharto ketika Prabowo dilatih di AS. Dalam konteks ini, fenomena ini menunjukkan bahwa hubungan Indonesia-AS adalah tarian yang rumit—antara saling menghormati dan saling mengukur.
Tarif AS dan Bargaining Power Indonesia
Pada April 2025, dunia dikejutkan oleh kebijakan tarif baru AS di bawah pemerintahan Trump yang kedua. Indonesia, bersama sejumlah negara Asia lainnya, dikenai tarif impor sebesar 32%. Kebijakan ini, yang dijuluki “Reciprocal Tariffs,” menjadi ujian nyata bagi kekuatan tawar Indonesia. Pasar saham Jakarta terguncang, dengan indeks JKSE anjlok hingga 9% pada 8 April 2025, dan rupiah merosot mendekati rekor terendah sejak krisis 1998. Di tengah gejolak ini, pertanyaan muncul: Bagaimana Indonesia bisa mempertahankan posisinya di hadapan raksasa ekonomi seperti AS?
Dalam teori negosiasi internasional, bargaining power sebuah negara ditentukan oleh beberapa faktor: sumber daya ekonomi, aliansi strategis, dan kemampuan diplomasi. Indonesia memiliki kartu truf yang kuat. Sebagai salah satu produsen nikel terbesar dunia, Indonesia memegang peran kunci dalam rantai pasok global, terutama untuk industri baterai kendaraan listrik yang trennya semakin naik. Selain itu, posisi geopolitik Indonesia sebagai jembatan antara Asia dan dunia Barat memberinya nilai strategis. Namun, tarif 32% itu seperti angin kencang yang menggoyang perahu—menguji sejauh mana Indonesia bisa memanfaatkan kekuatannya.
Prabowo, dalam pidatonya di Majalengka pada 7 April 2025, menegaskan bahwa Indonesia akan menempuh jalur diplomasi. “Kami ingin hubungan yang baik, adil, dan setara,” katanya, menunjukkan pendekatan pragmatis. Pemerintah Indonesia bergerak cepat, mengumumkan konsesi perdagangan pada 8 April 2025, termasuk pengurangan pajak untuk barang elektronik dan baja AS, serta rencana pembelian LPG, LNG, dan kedelai dari AS. Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya bereaksi, tetapi juga berstrategi untuk mengurangi dampak tarif sambil mempertahankan hubungan baik dengan AS.
Namun, di balik langkah-langkah ini, ada tantangan besar. Ketimpangan ekonomi antara Indonesia dan AS membuat posisi tawar Indonesia rentan. Ekspor utama Indonesia ke AS—elektronik, pakaian, dan alas kaki—sangat bergantung pada pasar AS, yang merupakan tujuan ekspor ketiga terbesar Indonesia dengan surplus perdagangan $16,8 miliar pada 2024. Tarif 32% mengancam industri padat karya ini, yang menjadi tulang punggung jutaan pekerja Indonesia. Di sisi lain, AS memiliki pasar domestik yang besar dan sumber daya ekonomi yang jauh lebih kuat, memberi mereka keunggulan dalam negosiasi.
Fenomena “Your English is so good” tiba-tiba terasa relevan di sini. Jika persepsi AS terhadap Indonesia masih dipenuhi stereotip atau ekspektasi rendah, maka negosiasi tarif ini bisa menjadi lebih sulit. Dalam dunia diplomasi, persepsi bisa menjadi kenyataan. Jika AS memandang Indonesia sebagai mitra yang “kurang setara,” maka Indonesia harus bekerja lebih keras untuk membuktikan bahwa kita adalah pemain yang tidak bisa diabaikan.
Studi Kasus: Negosiasi Tarif Kanada-AS di Era Pertama Trump
Untuk memahami dinamika ini, mari kita lihat studi kasus dari masa lalu: negosiasi tarif antara Kanada dan AS selama masa kepresidenan pertama Trump (2017–2021). Pada 2018, Trump memberlakukan tarif 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium dari Kanada, mitra dagang terdekat AS. Kanada, yang sangat bergantung pada pasar AS, menghadapi tekanan besar. Namun, Kanada memiliki keunggulan: ekonomi yang terintegrasi erat dengan AS melalui NAFTA (North American Free Trade Agreement) dan posisi geopolitik yang strategis sebagai sekutu utama.
Kanada merespons dengan dua cara: diplomasi tingkat tinggi dan retaliasi terukur. Perdana Menteri Justin Trudeau mengadakan pertemuan langsung dengan Trump, menekankan pentingnya hubungan bilateral. Di saat yang sama, Kanada memberlakukan tarif balasan untuk barang-barang AS seperti wiski dan sepeda motor, yang sengaja dipilih untuk menekan daerah-daerah pendukung Trump. Strategi ini berhasil. Pada 2019, AS mencabut tarif baja dan aluminium, dan kedua negara menandatangani USMCA (United States-Mexico-Canada Agreement) sebagai pengganti NAFTA.
Apa pelajaran dari kasus ini untuk Indonesia? Pertama, kekuatan tawar tidak hanya soal sumber daya, tetapi juga bagaimana negara memanfaatkan posisinya. Kanada berhasil karena mereka memahami kepentingan politik domestik AS dan menggunakan retaliasi sebagai alat tekanan. Indonesia, meski tidak memiliki integrasi ekonomi seerat Kanada dengan AS, memiliki kartu truf berupa nikel dan posisi strategis di Indo-Pasifik. Namun, Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam posisi defensif semata. Konsesi seperti pengurangan pajak barang AS adalah langkah awal, tetapi Indonesia juga perlu menunjukkan bahwa mereka bisa “bermain keras” jika diperlukan, misalnya dengan memperkuat kerja sama dengan mitra lain seperti China atau Uni Eropa.
Kedua, persepsi memainkan peran besar. Trump dikenal sebagai negosiator yang menghargai kekuatan dan sikap tegas. Jika Indonesia ingin dianggap setara, maka diplomasi mereka harus mencerminkan kepercayaan diri, bukan hanya kerendahan hati. Komentar seperti “Your English is so good” bisa menjadi pengingat bahwa Indonesia harus terus membangun narasi sebagai kekuatan global yang tidak bisa diremehkan.
Update Terbaru: Langkah Indonesia di Tengah Tarif
Hingga 14 April 2025, Indonesia terus bergerak untuk meredam dampak tarif AS. Delegasi tingkat tinggi, yang dijadwalkan berangkat ke AS pada 17 April 2025, akan membawa proposal negosiasi yang mencakup peningkatan impor barang AS seperti kapas, gandum, dan minyak. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa Indonesia tidak akan membalas dengan tarif, melainkan fokus pada “hubungan yang saling menguntungkan.” Sementara itu, Luhut Pandjaitan, penasihat ekonomi Prabowo, mengusulkan kemitraan mineral kritis dengan AS, memanfaatkan posisi Indonesia sebagai raja nikel dunia.
Namun, tantangan domestik tidak bisa diabaikan. Pasar saham yang masih labil dan rupiah yang melemah menunjukkan bahwa waktu sangat krusial. Bank Indonesia telah berjanji untuk “mengintervensi agresif” di pasar valas, tetapi tekanan ekonomi terus meningkat. Di sisi lain, Prabowo tetap menjalankan agenda diplomasi aktifnya, dengan rencana menghadiri KTT ASEAN di Malaysia akhir April 2025 untuk mengoordinasikan respons regional terhadap tarif AS. Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya berpikir bilateral, tetapi juga regional, memanfaatkan kekuatan kolektif ASEAN.
Sebuah Penutup dari Hati
Di ujung cerita ini, kita kembali ke pasar besar tadi. Indonesia, dengan segala kekuatannya, bukan sekadar pedagang kecil yang bisa diremehkan. Namun, untuk membuat dunia mendengar, ia harus berbicara dengan suara yang tegas, dengan langkah yang pasti. Kata-kata seperti “Your English is so good” mungkin akan terus mendengung, entah sebagai pujian atau ejekan terselubung. Tetapi, yang terpenting bukanlah apa yang dikatakan orang lain, melainkan bagaimana Indonesia menjawab—with grace, with strength, and with unwavering belief in its own worth.
Seperti pohon kelapa di tepi pantai, Indonesia berdiri kokoh meski ombak datang silih berganti. Tarif mungkin mengguncang, persepsi mungkin menyesatkan, tetapi di tangan pemimpin yang bijak dan rakyat yang bersatu, Indonesia akan menemukan jalannya. Bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk bersinar. Jujur terbuka, saya pribadi bukan pemilih Prabowo. Namun takdir sudah menggariskannya untuk menjadi pemimpin negeri ini. Semoga dia tidak sekadar ngomong "We wok de tok not only tok de tok."