Hitung mundur.
Ada detik yang tiba-tiba terasa lebih berat dari detik-detik lainnya, seperti batu kecil yang terselip di saku, tak terlihat namun selalu mengingatkan keberadaannya. Tanggal 24 April, dunia mencatat usiaku bertambah satu. Ah, itu angka yang manusia ciptakan untuk menandai perjalanan. Tapi mengapa, kala angka itu menyentuh tiga puluh lebih, ada sesuatu yang berdesir di dada? Seperti bisikan halus yang berkata, “Kau sedang berjalan menuju ujung, dan langkahmu semakin cepat.”
Aku tak pernah suka keramaian ulang tahun. Lilin, kue, dan tawa yang riuh terasa seperti topeng yang dipaksakan. Bagiku, hari ini sama seperti kemarin, sama seperti esok—matahari terbit, burung berkicau, dan hidup berjalan dengan ritmenya yang tak acuh. Tapi, entah mengapa, sejak usia tiga puluhan itu datang, aku mulai mendengar detak yang berbeda. Bukan detak jam, bukan pula detak jantung, melainkan detak yang lebih dalam, yang berbisik tentang sisa waktu. Aku mulai menghitung mundur, bukan tahun yang telah kulewati, tapi tahun yang mungkin masih tersisa. Dan itu, teman, adalah perasaan yang aneh, sekaligus menakutkan.
Dulu, di usia belasan, aku pernah berpikir hidup adalah lautan luas yang tak bertepi. Aku bisa berenang ke mana saja, menyelam ke dasar, atau mengarungi badai tanpa takut kehabisan napas. Dua puluhan datang, dan aku masih merasa seperti kapten kapal yang berdiri di belakang kemudi tangguh, meski kadang ombak membuatku terhuyung. Tapi tiga puluhan? Oh, tiba-tiba aku sadar bahwa lautan itu punya batas. Pantai di kejauhan mulai terlihat, dan aku tak tahu apakah aku akan tiba dengan perahu utuh atau sekadar puing-puing yang terdampar.
Aku tak sedang mencari makna hidup yang muluk-muluk, seperti yang sering ditulis di buku-buku filsafat atau dipidatokan di seminar motivasi. Aku cuma ingin memahami mengapa hati ini tiba-tiba jadi penutup. Apa yang berubah? Apakah karena tubuh mulai berderit, seperti pintu tua yang minta dilumasi? Dengkul yang mulai hampir menyerah diajak main sepatu roda? Atau karena aku mulai melihat kerutan halus di wajahku, tanda bahwa waktu tak pernah berpihak pada kekuatan kulitku? Ataukah karena aku mulai menyadari bahwa orang-orang yang kucintai, yang dulu selalu ada, kini mulai menghilang satu per satu.
Hari ini, aku duduk dan bertanya pada diriku sendiri: apa yang telah kuberikan pada dunia ini? Bukan harta, bukan pula nama besar, tapi sesuatu yang lebih sederhana—kebaikan, mungkin, atau setidaknya jejak kecil yang membuat seseorang tersenyum.
“Hidup itu bukan tentang berapa lama kau bernapas, tapi berapa banyak napasmu memberi arti.”
Sederhana, tapi kini terasa seperti petir yang menyambar di tengah hujan. Aku ingin hidupku bermakna, tapi di saat yang sama, aku takut bahwa waktu yang tersisa tak cukup untuk menebus semua kekurangan.
Mungkin ini yang dinamakan krisis eksistensial, atau mungkin cuma aku yang terlalu banyak berpikir. Tapi di antara semua keraguan itu, ada satu hal yang kini kupahami: hidup adalah tentang menerima bahwa kita fana. Kita adalah butir debu yang diberi kesempatan untuk terbang bersinar sebentar di bawah matahari, sebelum akhirnya kembali ke tanah. Dan dalam keterbatasan itu, ada keindahan yang tak bisa kujelaskan. Aku tak perlu lari dari detak waktu yang kini kudengar lebih jelas. Aku hanya perlu melangkah, satu demi satu, dengan hati yang penuh syukur.
Selamat ulang tahun, diriku. Di hitungan mundur ini, mari kita jalani sisa perjalanan ini dengan hati yang lapang dan langkah yang teguh.