Mini Zoo Purworejo: Monumen Bisu dari Ambisi Wagu!

Di sebuah sudut lereng miring daratan Purworejo, ada mimpi yang pernah ditaburkan dengan penuh harap, seperti benih yang dipercaya akan tumbuh menjadi pohon raksasa nan rindang memberi keteduhan bagi harapan warga Purworejo. Mini Zoo, mereka menyebutnya—sebuah kebun binatang kecil yang konon akan menjadi layaknya taman Eden bagi anak-anak dan keluarga, tempat jerapah hingga monyet menari di bawah langit tawa. Anggaran Rp 9,4 miliar dari APBD 2023 digelontorkan, bagaikan air yang disiramkan ke tanah gersang, dengan janji manis bahwa ini akan jadi oase di tengah padang pasir kebosanan Purworejo. Tapi, seperti kisah-kisah lama yang kita kenal, harapan itu ternyata cuma fatamorgana yang berkilau sesaat sebelum lenyap ditelan debu realita.

Bayangkan sebuah panggung megah yang dibangun dengan kayu termahal, tapi fondasinya diletakkan di atas tanah yang labil. Begitulah Mini Zoo ini berdiri, megah di atas kertas, rapuh di dunia nyata. Hujan datang pada November 2023, seperti tamu tak diundang yang membawa kabar buruk. Talud dan bangunan yang baru setengah jadi langsung ambruk, seolah-olah alam sendiri tertawa sinis pada kecongkakan manusia yang tak pernah belajar membaca tanda-tanda. Longsor itu bukan sekadar bencana—itu adalah metafora hidup dari sebuah proyek yang lahir dari niat baik namun mati di tangan perencanaan buruk.

Pernahkah kau mendengar bisik-bisik di antara reruntuhan? BPK datang dengan kacamata tajamnya, mengintip ke dalam laci-laci berdebu dan menemukan kejanggalan yang pahit: spesifikasi bangunan tak sesuai kontrak, kerugian negara Rp 2 miliar menguap begitu saja, seperti asap yang hilang di udara sepi Purworejo. Mereka bilang, “Ini perlu diperbaiki,” tapi siapa yang mendengar? Kontraktor mungkin sibuk menghitung denda Rp 144,5 juta karena keterlambatan 17 hari, sementara tanah di sana terus bergoyang, menanti longsor berikutnya—dan ya, ia datang lagi pada 5 Januari 2025, seperti lelucon yang diulang-ulang sampai ia kehilangan esensi kelucuannya.

Di tepi reruntuhan itu, saya membayangkan seorang anak kecil berdiri, memegang balon yang sudah kempis. Ia bertanya, “Bukankah ini tempat kita akan melihat zebra dan singa, Bu?” Ibunya hanya tersenyum kecut, “Mungkin lain kali, Nak. Mungkin saat tanah ini belajar untuk tidak menelan mimpinya sendiri.” Sarkasme hidup terpampang di sana: sebuah kebun binatang yang tak pernah benar-benar hidup, malah jadi monumen bisu dari ambisi yang kehabisan napas.

Kejaksaan kini mengendus bau busuk di balik tumpukan batu dan kayu itu. Pada 9 Januari 2025, statusnya naik dari penyelidikan ke penyidikan—seperti dokter yang akhirnya memutuskan untuk membedah pasien yang sudah lama terbaring koma. DPRD Purworejo malah melambaikan tangan, “Sudahlah, ubah saja jadi hutan atau taman kota. Buat apa mempertahankan mayat yang tak pernah bernyawa?” Dan KPK, seperti elang yang mengintai dari kejauhan, mulai melirik pada akhir 2024, seolah berkata, “Kalian pikir ini akan dibiarkan begitu saja, Fergusso?!”

Mini Zoo Purworejo bukan sekadar proyek gagal. Ia adalah cermin yang retak bahkan saat proses produksi sebelum dikirim kurir, memantulkan wajah kita semua—wajah mereka yang gemar menabur janji di angin, lalu pura-pura lupa saat badai datang. Ia adalah kisah tentang tanah yang menolak dipaksa, tentang uang rakyat yang terkubur dalam pekat lumpur, dan tentang mimpi seperempat jadi yang akhirnya tertidur lelap di pelukan longsor. Mungkin suatu hari, di antara puing-puing itu, akan tumbuh bunga liar yang tak pernah direncanakan. Tapi untuk saat ini, ia hanya sebuah pesan alam yang kurang lebih berbunyi: "Ra usah ngeyil!"


Postingan populer dari blog ini

Janji saya yang telah mencederai Ramadan

Emas adalah perisai, tidak lebih.

The kitchen of politics and our plate.