Pintu filosofi buat Nabiel.

“Mas,” kata Nabiel, “saya mau mulai baca buku. Kira-kira buku rekomendasi awal apa ya?” Ia menatap saya, menanti jawaban seperti seorang musafir yang mencari petunjuk di persimpangan jalan. Lalu, sebelum saya sempat menjawab, ia menambahkan, “Kalo buku filosofi, rekomendasi Mas apa?”

Saya tersenyum. Ada sesuatu yang indah dari keingintahuan seorang anak muda yang baru mulai menjelajahi dunia ide. Tapi, di balik keindahan itu, saya juga merasakan tanggung jawab besar. Dunia pemikiran, terutama filosofi, adalah lautan luas yang bisa membawa seseorang ke pulau-pulau kebijaksanaan, tapi juga bisa menyeretnya ke pusaran keraguan yang dalam. Saya menarik napas, memandang matanya dan berkata, “Al-Qur’an.”

Ia memandang saya, sedikit terkejut, mungkin mengharapkan judul buku dengan nama filsuf terkenal atau karya klasik dari Barat. Tapi saya melanjutkan, “Perkuat dulu akidahmu, Biel. Sebelum kau menyelami dunia filosofi, pastikan hatimu punya jangkar yang kokoh. Al-Qur’an bukan hanya kitab suci, ia adalah samudra kebijaksanaan, termasuk filosofi. Di dalamnya ada jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar tentang hidup, makna, dan keberadaan. Kalau kau menyelami filosofi tanpa bekal akidah yang kuat, kau bisa tersesat. Bisa jadi kau malah meluncur terlalu jauh ke kiri, ke tempat di mana semua terasa abu-abu, tanpa pegangan.”

Nabiel mengangguk pelan, meski saya tahu pertanyaannya belum sepenuhnya terjawab. Ia ingin sesuatu yang konkret, sebuah buku yang bisa ia pegang, yang bisa ia baca sambil mencatat di buku catatannya yang hampir selalu ia bawa. Saya teringat perjalanan panjang saya sendiri menyelami dunia buku. Dunia itu seperti hutan lebat: ada pohon-pohon besar yang menjulang, penuh hikmah, tapi juga ada semak berduri yang bisa melukai jika kau tak hati-hati.

Filosofi, oh, betapa menarik dan berbahayanya kata itu. Ia seperti pedang bermata dua: di satu sisi, ia mengasah pikiran, membuka cakrawala baru, mengajakmu bertanya tentang hakikat keberadaan, keadilan, dan kebenaran. Di sisi lainnya, jika kau tak punya kompas, kau bisa tersesat dalam labirin pertanyaan tanpa akhir, di mana setiap jawaban hanya melahirkan keraguan baru. Nabiel, dengan semangat mudanya, sedang berdiri di pintu masuk labirin itu. Dan saya, sebagai kakaknya, ingin memastikan ia membawa lentera yang cukup terang untuk menerangi jalannya.

Al-Qur’an, seperti yang saya katakan padanya, adalah lentera pertama. Ia bukan hanya kitab suci, tapi juga peta kosmik yang menunjukkan arah di tengah badai pemikiran. Di dalamnya ada kisah Nabi Ibrahim yang merenungi bintang, bulan, dan matahari untuk mencari Tuhan—sebuah perjalanan filosofis yang begitu mendalam. Ada pula ayat-ayat tentang penciptaan alam, tentang manusia, tentang waktu dan keabadian. Semua itu adalah fondasi yang kokoh sebelum melangkah lebih jauh.

Tapi saya tahu, Nabiel juga membutuhkan buku-buku lain yang bisa menjadi jembatan antara akidahnya dan dunia filosofi yang luas. Buku-buku yang tak akan membuatnya kehilangan arah, tapi justru memperkaya cara ia memandang dunia. Maka, dengan hati-hati, saya akan memilih beberapa karya yang bisa menjadi teman perjalanannya.

  1. Dunia Sophie karya Joestin Gaarder. Bagi saya ini adalah semacam "iqro"-nya dunia filsafat. Buku ini adalah pintu masuk yang sempurna ke dunia filosofi. Dengan gaya cerita yang sederhana namun memikat, Gaarder mengajak pembaca mengikuti perjalanan Sophie, seorang gadis remaja yang mulai menerima surat-surat misterius tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup. Dari Socrates hingga Sartre, buku ini menjelaskan sejarah filosofi dengan cara yang ringan tapi tidak kehilangan kedalaman. Untukmu, buku ini akan seperti sahabat yang menggandeng tangan, mengajakmu berjalan pelan sambil menunjukkan keindahan ide-ide besar tanpa membuatmu kewalahan.
  2. Filsafat untuk Pemula” karya R.M. Hare (atau “Philosophy: The Basics” karya Nigel Warburton). Jika kamu ingin sesuatu yang lebih terstruktur, buku ini adalah pilihan yang tepat. Nigel Warburton, misalnya, menjelaskan konsep-konsep dasar filsafat—seperti etika, metafisika, dan epistemologi—dengan bahasa yang jelas dan contoh-contoh yang relevan. Buku ini seperti peta yang membantumu memahami “di mana ia berada” dalam peta besar dunia pemikiran. Kamu tak akan tersesat, karena setiap bab dirancang untuk membumi, praktis, dan mudah dipahami.
  3. The Alchemist” karya Paulo Coelho. Meski lebih bersifat novel filosofis, buku ini adalah permata yang akan menyentuh hatimu. Kisah Santiago, seorang penggembala yang mencari “harta karun” dalam mimpinya, adalah metafora indah tentang pencarian makna hidup. Coelho, dengan kepekaannya, mengajarkan bahwa filosofi bukan hanya soal berpikir keras, tapi juga mendengarkan suara hati. Buku ini akan mengajakmu merenung tanpa membuatmu merasa terbebani.
Tapi ingat, setiap kali kau membaca, setiap kali kau bertanya, selalu kembalikan semuanya pada Al-Qur’an. Ia adalah kompasmu. Filosofi yang baik adalah yang membawamu lebih dekat pada kebenaran, bukan yang menjauhkanmu dari Tuhan.

Postingan populer dari blog ini

Janji saya yang telah mencederai Ramadan

Emas adalah perisai, tidak lebih.

The kitchen of politics and our plate.