Hari gelap; bukan hidup kelam.

Suatu sudut jiwa, ada taman tempat mentari selalu menyapa. Bunga-bunga bermekar dalam harmoni, dan angin membisikkan nyanyian tentang harapan. Namun, kadang kala, awan kelabu menyelimuti taman itu. Hujan tajam turun, mencabik dedaunan, dan untuk sesaat, kita lupa bahwa mentari masih ada di balik tabir. Kita menatap genangan air di tanah dan berkata, "Inilah hidupku, penuh derita."

“Hari yang buruk hanyalah bayang-bayang yang lewat; ia bukan wajah sejati hidupmu.”

Hari ini kamu ribut sama pasanganmu, dimarahi guru karena datang terlambat, ditegur atasan karena kerjaan tidak beres, effort nyari suiran ayam nyelip di gigi tapi tidak ketemu. 

Kita sering tersandung pada ilusi bahwa satu momen kelam mampu mendefinisikan seluruh keberadaan kita. Jiwa manusia bagaikan sungai: ada hari ketika airnya keruh, penuh lumpur, namun di hari lain, ia jernih, memantulkan langit. Sungai tidak pernah berhenti mengalir hanya karena satu hari yang keruh.

Hari lain kamu mendapatkan penghargaan berupa senyum dari orang tercinta, tanpa dinyana dapat skin rare gratis di game favorit, diberi minum orang tidak dikenal kala kamu kehausan di tengah lari. Ingat hal itu?

Dalam psikologi, kecenderungan untuk membiarkan satu peristiwa negatif mewarnai persepsi kita tentang hidup disebut bias negatif (negativity bias). Istilah ini merujuk pada kecenderungan otak manusia untuk lebih peka terhadap pengalaman negatif dibandingkan yang positif, sebuah mekanisme evolusi yang dulunya membantu kita bertahan dari bahaya, namun kini sering menjebak kita dalam spiral keputusasaan.

Mari kita selami bias negatif dari sisi psikologi. Bias negatif, sebagaimana dijelaskan oleh psikolog seperti Rick Hanson, adalah kecenderungan otak untuk "melekat" pada pengalaman buruk, sementara pengalaman baik cenderung "meluncur" dari memori, terlupakan. Ketika kita mengalami hari yang menyebalkan—mungkin sebuah kegagalan di tempat kerja, pertengkaran dengan orang tersayang, atau sekadar suasana hati yang tak menentu—otak kita memperbesar momen itu, seolah-olah itulah cerminan seluruh hidup kita. Ini adalah ilusi kognitif yang dikenal sebagai overgeneralization, di mana kita mengambil satu peristiwa spesifik dan menyimpulkan bahwa itulah kebenaran universal tentang diri kita atau hidup kita.

Satu hari buruk bukanlah akhir dari cerita, melainkan bagian dari ritme hidup yang naik-turun. Psikologi positif menawarkan konsep resiliensi, kemampuan untuk bangkit dari kesulitan. Martin Seligman, pelopor psikologi positif, menjelaskan bahwa resiliensi dibangun melalui cara kita menafsirkan kegagalan. Alih-alih melihat hari buruk sebagai bukti bahwa hidup kita menderita, kita bisa melatih diri untuk melihatnya sebagai pelajaran, sebuah undangan untuk bertumbuh.

Untuk mengatasi bias negatif dan overgeneralization, psikologi menawarkan praktik seperti jurnal syukur (gratitude journaling), di mana kita secara sadar mencatat hal-hal positif dalam hidup kita setiap hari. Ini bukan sekadar menutupi luka dengan senyuman, melainkan melatih otak untuk melihat keseimbangan—bahwa di samping hari buruk, ada pula hari-hari indah yang telah kita lalui dan yang masih menanti.

“Setiap malam membawa bintang baru, dan setiap hari buruk membawa pelajaran baru. Dengarkan bisiknya, karena di dalamnya tersembunyi kebijaksanaan.”

Ada pula konsep self-compassion yang dikembangkan oleh Kristin Neff, yang mengajak kita untuk memperlakukan diri sendiri dengan kelembutan, seperti kita memperlakukan seorang sahabat yang sedang kesulitan. Ketika hari buruk datang, alih-alih berkata, “Hidupku menderita,” kita bisa berkata, “Hari ini sulit, tetapi aku cukup kuat untuk melewatinya.” Ini adalah pergeseran kecil yang membawa perubahan besar, karena kekuatan sejati bukanlah tidak pernah jatuh, melainkan bangkit setiap kali kita tersandung.

Hari buruk adalah bagian dari tapestri hidup, benang gelap yang menambah kontras pada warna-warna cerah. Ia bukanlah akhir, melainkan jeda, sebuah undangan untuk merenung, belajar, dan bertumbuh. Dalam psikologi, kita belajar bahwa otak kita mungkin cenderung terpaku pada yang negatif, namun kita memiliki kuasa untuk melatihnya, untuk mengarahkan pandangan kita kembali pada cahaya. Kita diingatkan bahwa hidup adalah perjalanan, dan setiap langkah, baik yang ringan maupun berat, membawa kita lebih dekat pada ketenangan jiwa.

Maka, ketika awan kelabu kembali menyelimuti taman jiwamu, ingatlah: “Hari ini mungkin kelam, tetapi hidupmu adalah kanvas luas, penuh warna yang menanti untuk kau lukis.” Biarkan sungai jiwamu terus mengalir, karena di ujung perjalanan, kau akan menemukan bahwa setiap hari buruk hanyalah setetes air dalam lautan kehidupan yang luas, indah, penuh kejutan.

Postingan populer dari blog ini

Emas adalah perisai, tidak lebih.

Janji saya yang telah mencederai Ramadan

"Your English is so good" dan kekuatan daya tawar Indonesia.