Tarif parkir Purworejo: sedekah paksa yang mengakar.

Di tepi jalan Purworejo, roda-roda berhenti bukan hanya karena kebutuhan, tetapi juga karena tangan-tangan yang meminta lebih dari yang ditetapkan. Seribu rupiah, begitu kata Perda, adalah ongkos untuk menitipkan sepeda motor di pundak trotoar. Tapi, di banyak sudut kota ini, dua ribu rupiah menjadi “sedekah paksa” yang mengalir tanpa karcis, tanpa restu undang-undang, hanya disokong oleh kebiasaan yang terlanjur mengakar. Ini bukan soal pelit atau murah hati, teman. Ini soal amanah yang terparkir di sudut hati kita, soal keadilan yang terselip di antara deru mesin kendaraan..

Warung-warung kecil di Purworejo merintih. Bukan karena kopi mereka tak harum, bukan karena sambal mereka tak cukup pedas, tetapi karena tarif parkir yang “mencuri” seribu rupiah ekstra itu ibarat kerikil kecil yang mengganjal laju usaha mikro. UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat mulai goyah. Ada warung makan yang tutup, ada pedagang kaki lima yang kehilangan pembeli, hanya karena biaya parkir membuat orang berpikir dua kali untuk mampir. Apakah kita rela melihat warung-warung ini mati, hanya karena kita membiarkan kebiasaan buruk menjadi tuan di jalanan kita?

Juru parkir bukanlah musuh. Mereka adalah bagian dari kita, mencari rezeki di bawah terik matahari atau rintik hujan. Tetapi, ketika seribu rupiah yang ditetapkan undang-undang berubah menjadi dua ribu tanpa izin, kita sedang membiarkan amanah terkikis. Kita sedang membiarkan keadilan terjepit di antara roda-roda yang berhenti. Juru parkir itu, barangkali, hanya menjalankan “aturan tak tertulis” yang kita semua izinkan mengakar. Bukankah kita, sebagai masyarakat, juga punya tanggung jawab untuk menegakkan aturan tertulis itu? Bukankah kita diajarkan bahwa keadilan adalah amanah yang harus dijaga bersama?

Mari kita duduk sejenak. Mari kita tanya pada diri sendiri: siapa yang menjaga jalan-jalan Purworejo? Apakah hanya juru parkir dengan rompi lusuhnya? Apakah hanya Dinas Perhubungan dengan peraturannya? Ataukah kita semua, yang setiap hari melintas di jalan itu, yang punya kuasa untuk berkata “tidak” pada pungutan yang salah, untuk mengingatkan dengan lembut, untuk mengembalikan keadilan ke tempatnya?

Bayangkan jika seribu rupiah itu kembali menjadi semestinya. Bayangkan jika karcis parkir bukan sekadar kertas kecil, tetapi simbol amanah yang kita junjung bersama. Warung-warung kecil akan kembali ramai. Mobilitas masyarakat Purworejo akan mengalir, tak lagi terhenti oleh kerikil-kerikil kecil bernama pungutan liar. Ini bukan soal seribu atau dua ribu, teman. Ini soal bagaimana kita membangun kota ini, bagaimana kita menjaga keadilan dalam hal-hal kecil yang ternyata sangat besar maknanya.

Pemerintah daerah punya tanggung jawab untuk menertibkan jalanan. Pengawasan yang lelet, seperti kendaraan tua yang mogok, harus diperbaiki. Sosialisasi tentang tarif resmi harus mengalir sampai ke telinga setiap warga. Juru parkir perlu diajak duduk bersama, diberi pelatihan, diberi amanah, bukan dibiarkan mencari rezeki dengan cara yang membebani saudaranya sendiri. Dan kita, sebagai masyarakat, perlu berani bertanya, berani mengingatkan, berani menjaga keadilan dengan langkah kecil, seperti menolak membayar lebih dari yang ditetapkan.

Di Purworejo, jalanan bukan sekadar aspal dan trotoar. Ia adalah cermin hati kita. Jika kita membiarkan amanah hilang, maka kita sedang membiarkan keadilan terparkir di sudut yang kelam. Tetapi, jika kita bersama-sama mengembalikan seribu rupiah ke tempatnya, maka kita sedang membangun Purworejo yang lebih adil, lebih ramah, lebih penuh berkah.

Postingan populer dari blog ini

Emas adalah perisai, tidak lebih.

Janji saya yang telah mencederai Ramadan

"Your English is so good" dan kekuatan daya tawar Indonesia.