Jurnal Purworejo Folk Road to School: SMP Negeri 1 Purworejo
Aku ingat betul aku sering masuk ruang BP (sekarang BK) kala itu karena keriuhan yang sering aku lakukan di kelas. Betapa memori bangku SMP masih tergurat jelas di kepala. Aula tua kini diremajakan kembali, masih dalam bentuknya namun versi prima. Aku kembali ke sekolahku ini bukan sekadar mampir pipis, namun penuh harapan.
3 Mei 2025, sebuah kisah kecil namun penuh makna terukir di aula tua SMPN 1 Purworejo. Di sana, Purworejo Folk, media yang lahir dari mimpi untuk mengguncang jiwa-jiwa muda, menggelar acara Purworejo Folk Road to School. Bukan sekadar acara biasa, tetapi sebuah perjalanan untuk menanamkan benih pemahaman tentang ilmu praktis kepada anak-anak yang sedang mencari jati diri. Dan aku memilih cara yang tak biasa: mengenakan kostum dinosaurus dan meluncur dengan sepatu roda di hadapan ratusan pasang mata yang terpana.
Mengapa dinosaurus? Mengapa sepatu roda? Karena dunia anak-anak adalah ladang imajinasi yang luas, dan untuk menabur benih di sana, aku harus menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar suara monoton di depan kelas. Aku harus menjadi badut yang bijak, pelancong yang membawa pesan esensial, atau setidaknya, seseorang yang cukup berani untuk tampil konyol demi sebuah tujuan mulia. Personal branding bukanlah pelajaran yang bisa disampaikan dengan slide presentasi membosankan atau jargon-jargon rumit. Ia adalah seni menemukan diri, seni mengukir nama di hati dunia, dan untuk menyampaikannya kepada anak-anak SMP, aku harus membuat mereka tertawa, terkejut, dan akhirnya, mendengar.
Bayangkan pemandangannya. Aku meluncur masuk ke aula sekolah, kostum dinosaurus hijau yang menggemaskan bergoyang-goyang. Sepatu roda di kakiku berderit pelan, menambah drama di antara tawa dan sorak anak-anak. Mereka menatapku, sebagian dengan mulut ternganga, sebagian dengan sorak-sorai, sebagian lagi dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. Di saat itu, aku tahu, aku telah menangkap perhatian mereka. Bukan karena aku pintar bicara, bukan karena aku punya gelar panjang, tetapi karena aku berani menjadi berbeda, berani menjadi “nyeleneh” demi mereka, demi anak-anak Purworejo, demi almamaterku SMP Negeri 1 Purworejo.
Di balik kostum yang lucu itu, aku membawa pesan yang serius. Personal branding, kukatakan kepada mereka, bukan soal menjadi terkenal di media sosial atau punya pengikut ribuan. Personal branding adalah tentang menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri dengan cara yang paling jujur, paling otentik, dan paling berani. “Kalian adalah cerita,” kataku, sambil menunjuk ke arah mereka. “Setiap langkah kalian, setiap tawa, setiap mimpi, adalah bab-bab dari buku besar yang sedang kalian tulis. Jadi, tulis cerita yang membuat dunia berhenti sejenak untuk membacanya.”
Di sela-sela presentasi, aku meluncur dengan sepatu roda ke sana kemari, berputar-putar di antara barisan anak, mengajak mereka untuk berteriak, untuk tertawa, untuk merasakan bahwa belajar itu bisa menyenangkan. Kulihat mereka mulai memahami bahwa mereka bukan sekadar nama di daftar absen, tetapi jiwa-jiwa yang punya cerita untuk diceritakan, untuk diguratkan.
Hari itu, Purworejo Folk bukan hanya menggelar acara. Kami menabur mimpi. Kami mengingatkan anak-anak bahwa mereka berharga, bahwa dunia menunggu untuk mendengar suara mereka, dan bahwa menjadi diri sendiri adalah kekuatan terbesar yang mereka miliki. Kostum dinosaurus dan sepatu roda hanyalah alat—cara untuk membuka pintu hati mereka. Tetapi pesan yang kutinggalkan, kuharap, akan terus bergema, berresonansi, seperti langkah dinosaurus yang mengguncang bumi, seperti roda yang terus berputar menuju masa depan.
Dan di ujung acara, ketika seorang anak mendekatiku dan berkata, “Kak Gatot, gilak seru banget. Belum pernah ada yang kayak gini,” di titik itu aku tahu, misi kami telah berhasil. Purworejo Folk bukan sekadar nama. Ia adalah api yang menyala di hati anak-anak, mengajak mereka untuk melangkah, untuk berkisah, untuk menjadi legenda versi mereka sendiri.