Postingan

Tarif parkir Purworejo: sedekah paksa yang mengakar.

Di tepi jalan Purworejo, roda-roda berhenti bukan hanya karena kebutuhan, tetapi juga karena tangan-tangan yang meminta lebih dari yang ditetapkan. Seribu rupiah, begitu kata Perda, adalah ongkos untuk menitipkan sepeda motor di pundak trotoar. Tapi, di banyak sudut kota ini, dua ribu rupiah menjadi “sedekah paksa” yang mengalir tanpa karcis, tanpa restu undang-undang, hanya disokong oleh kebiasaan yang terlanjur mengakar. Ini bukan soal pelit atau murah hati, teman. Ini soal amanah yang terparkir di sudut hati kita, soal keadilan yang terselip di antara deru mesin kendaraan.. Warung-warung kecil di Purworejo merintih. Bukan karena kopi mereka tak harum, bukan karena sambal mereka tak cukup pedas, tetapi karena tarif parkir yang “mencuri” seribu rupiah ekstra itu ibarat kerikil kecil yang mengganjal laju usaha mikro. UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat mulai goyah. Ada warung makan yang tutup, ada pedagang kaki lima yang kehilangan pembeli, hanya karena biaya parkir membu...

Kau berikan kesetiaan, aku berikan bahkan lebih.

Ada sesuatu tentang kesetiaan yang selalu membuat hati bergetar. Bukan karena ia megah seperti istana, atau gemerlap bak permata di mahkota raja. Tidak. Kesetiaan itu sederhana, namun dalam kesederhanaannya, ia menyimpan kekuatan yang mampu mengguncang dunia. Kau beri kesetiaan, dan aku, dengan segenap jiwa, akan memberikan lebih... lebih dari yang kau bayangkan, lebih dari yang kau harapkan. Kesetiaan bukanlah sekadar janji yang terucap di bibir, lalu lenyap disapu angin. Ia adalah pohon yang kau tanam di tanah gersang, kau sirami dengan air dari sumur hatimu, kau pelihara meski badai datang menerpa. Ia adalah pilihan setiap hari, setiap detik, untuk tetap berdiri di sisi seseorang, bahkan ketika dunia berbalik memusuhi. Kesetiaan adalah keberanian untuk memilih cinta, memilih kebenaran, memilih kebersamaan, meski jalan itu penuh duri. Kesetiaan bukanlah permainan satu arah. Ia adalah tarian dua jiwa, dua hati yang saling memilih, saling mengisi. Kau tak bisa menuntut kesetiaan jika k...

The kitchen of politics and our plate.

There’s a grand kitchen called politics. This kitchen is never quiet, always steaming, filled with aromas that tempt—sometimes fragrant, sometimes reeking with a stench that stings the nose. Inside, the chefs—the politicians—are busy concocting dishes. They stir pots, chop vegetables, season meat, and occasionally bicker fiercely over recipes. Some work with heart, striving to serve a delicious meal for all. But many others think only of praise, profit, or simply want their name remembered as the greatest chef. And us? We are the customers seated at the dining table, waiting for the dish to be served. Our plates are empty, our stomachs hungry, our hopes high. But are we wise enough to ask: What’s on my plate? Do we care enough to sniff the dish’s aroma, check its color, or even read the list of ingredients on the menu? Or do we simply swallow whatever is placed before us, never questioning whether it’s nutritious, high in calories, or—perish the thought—poisonous? Politics, they say, i...

Hari gelap; bukan hidup kelam.

Suatu sudut jiwa, ada taman tempat mentari selalu menyapa. Bunga-bunga bermekar dalam harmoni, dan angin membisikkan nyanyian tentang harapan. Namun, kadang kala, awan kelabu menyelimuti taman itu. Hujan tajam turun, mencabik dedaunan, dan untuk sesaat, kita lupa bahwa mentari masih ada di balik tabir. Kita menatap genangan air di tanah dan berkata, "Inilah hidupku, penuh derita." “Hari yang buruk hanyalah bayang-bayang yang lewat; ia bukan wajah sejati hidupmu.” Hari ini kamu ribut sama pasanganmu, dimarahi guru karena datang terlambat, ditegur atasan karena kerjaan tidak beres, effort nyari suiran ayam nyelip di gigi tapi tidak ketemu.  Kita sering tersandung pada ilusi bahwa satu momen kelam mampu mendefinisikan seluruh keberadaan kita. Jiwa manusia bagaikan sungai: ada hari ketika airnya keruh, penuh lumpur, namun di hari lain, ia jernih, memantulkan langit. Sungai tidak pernah berhenti mengalir hanya karena satu hari yang keruh. Hari lain kamu mendapatkan penghargaan ber...

Panggilan jiwa di balik sebuah nama.

Sebuah brand bukan sekadar nama, melainkan jiwa yang bernapas di baliknya. Seperti pohon yang menjulang, akarnya tak pernah terlihat, namun dialah yang menyangga kehidupan. Begitu pula seorang brand owner—ia adalah akar, dan personal branding adalah cara ia menampakkan diri ke dunia, menyapa hati yang mencari makna di balik produk. Edelman Trust Barometer (2023) berbicara dengan angka yang jernih: 88% konsumen memercayai brand yang memiliki pemimpin yang terlihat, yang berani menampakkan wajah dan cerita mereka. Ini bukan sekadar data, melainkan cermin jiwa manusia. Manusia tidak hanya membeli barang; mereka merindukan koneksi, sebuah cerita yang bergema di relung hati mereka. Studi dari Harvard Business Review (2021) memperkuat kebenaran ini: konsumen bersedia membayar hingga 20% lebih mahal untuk brand yang memiliki narasi autentik dan pemimpin yang relatable. Mengapa? Karena di balik setiap transaksi, ada keinginan untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang hidup, ...

Jurnal Purworejo Folk Road to School: SMP Negeri 1 Purworejo

Aku ingat betul aku sering masuk ruang BP (sekarang BK) kala itu karena keriuhan yang sering aku lakukan di kelas. Betapa memori bangku SMP masih tergurat jelas di kepala. Aula tua kini diremajakan kembali, masih dalam bentuknya namun versi prima. Aku kembali ke sekolahku ini bukan sekadar mampir pipis, namun penuh harapan. 3 Mei 2025, sebuah kisah kecil namun penuh makna terukir di aula tua SMPN 1 Purworejo. Di sana, Purworejo Folk, media yang lahir dari mimpi untuk mengguncang jiwa-jiwa muda, menggelar acara Purworejo Folk Road to School. Bukan sekadar acara biasa, tetapi sebuah perjalanan untuk menanamkan benih pemahaman tentang ilmu praktis kepada anak-anak yang sedang mencari jati diri. Dan aku memilih cara yang tak biasa: mengenakan kostum dinosaurus dan meluncur dengan sepatu roda di hadapan ratusan pasang mata yang terpana. Mengapa dinosaurus? Mengapa sepatu roda? Karena dunia anak-anak adalah ladang imajinasi yang luas, dan untuk menabur benih di sana, aku harus menjadi sesuat...

Hitung mundur.

Ada detik yang tiba-tiba terasa lebih berat dari detik-detik lainnya, seperti batu kecil yang terselip di saku, tak terlihat namun selalu mengingatkan keberadaannya. Tanggal 24 April, dunia mencatat usiaku bertambah satu. Ah, itu angka yang manusia ciptakan untuk menandai perjalanan. Tapi mengapa, kala angka itu menyentuh tiga puluh lebih, ada sesuatu yang berdesir di dada? Seperti bisikan halus yang berkata, “Kau sedang berjalan menuju ujung, dan langkahmu semakin cepat.” Aku tak pernah suka keramaian ulang tahun. Lilin, kue, dan tawa yang riuh terasa seperti topeng yang dipaksakan. Bagiku, hari ini sama seperti kemarin, sama seperti esok—matahari terbit, burung berkicau, dan hidup berjalan dengan ritmenya yang tak acuh. Tapi, entah mengapa, sejak usia tiga puluhan itu datang, aku mulai mendengar detak yang berbeda. Bukan detak jam, bukan pula detak jantung, melainkan detak yang lebih dalam, yang berbisik tentang sisa waktu. Aku mulai menghitung mundur, bukan tahun yang telah kulewati...