Postingan

Mendobrak pakem rigid institusi pendidikan.

Traktir Nonton Bioskop Vol.2 adalah kegiatan inisiasi Purworejo Folk untuk memberikan apresiasi buat anak-anak muda Purworejo. Mengumpulkan anak muda Purworejo yang berkualitas melalui kegiatan positif dan keren dari perspektif mereka (anak muda); bukan keren dari kacamata kolot kita. Lantas ada sekolah yang tidak mengizinkan anak-anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan positif ini. Oke, ini adalah tindakan prefentif dan bentuk perhatian sekolah. Namun, bukankah kita sering menyaksikan bentuk perhatian yang tidak tepat sasaran? Penggunaan nama sekolah bukan bentuk kerja sama kelembagaan, melainkan sistem klasifikasi peserta agar mudah dikelola. Ini adalah kali kedua Traktir Nonton Bioskop Purworejo Folk, tindakan ini adalah salah satu mitigasi masalah kerumunan. Sekali lagi, tidak ada kerja sama kelembagaan dengan institusi pendidikan. Ini adalah ikatan individu antar kami. 1. Kegiatan di luar jam sekolah = wilayah pribadi siswa Kegiatan yang dilakukan di luar jam sekolah adalah hak ...

Lirik untuk kekecewaan.

Bagi yang kini memeluk kekecewaan di sudut kamar, dengarkan ini dengan hati terbuka. Aku tahu rasanya. Rasa pahit itu, seperti pisau kecil yang mengiris lembut di dada, meninggalkan luka yang terasa begitu nyata. Kalian mungkin bertanya pada cermin, “Mengapa bukan aku? Apa yang kurang dariku?” Izinkan aku memeluk kalian lewat kata-kata: ini bukan akhir cerita kalian. Kekecewaan itu sebatas paragraf hidup, bukan akhir dari cerita. Hidup seperti lukisan tua, penuh warna yang tak selalu cerah. Kegagalan yang kalian rasakan sekarang hanyalah sapuan kuas yang kelabu, bukan lukisan utuh yang purna. Kekecewaan itu, rasa sakit yang menggigit hati, adalah tanda bahwa kalian hidup, bahwa kalian punya mimpi yang bernyawa, bahwa jiwa kalian masih menyala. Jangan biarkan luka ini membeku menjadi kepahitan. Biarkan ia menjadi bara, api kecil yang akan membakar semangat kalian hingga menyala terang, menerangi jalan menuju kebesaran. Salah satu lagu favorit sepanjang masaku Hall of Fame dari The Scrip...

100% untuk 100%

Urusan hidup ini bukan cuma soal untung-rugi. Bukan pula soal kalkulasi dagang. Tapi ini soal keseimbangan. Soal kewajaran. Soal fitrah. Kita ini, diciptakan oleh-Nya, dengan segala energi dan potensi. Kita diberi hati, pikiran, dan tenaga. Lantas, mau kita habiskan untuk apa semua itu? "Jangan kasih 100% ke orang yang cuma kasih 10%" ini, kalau dipikir-pikir, bukan nasihat pelit. Ini bukan ajaran untuk hitung-hitungan. Ini adalah ajaran untuk menghargai diri sendiri, yang juga merupakan anugerah dari Tuhan. Cinta itu, teman, bukan hanya soal memberi. Cinta yang sejati itu soal saling menerima dan saling memuliakan. Kalau kau kasih 100%, tapi yang kau terima cuma 10%, itu namanya bukan cinta, itu namanya pengorbanan tanpa hikmah. Itu seperti kau menuangkan air dari kendi yang penuh ke tanah yang kering, padahal kendi itu juga butuh diisi ulang. Energi kita ini, seperti air dalam kendi itu. Ia punya batas. Kalau terus-terusan kita curahkan tanpa ada yang mengisi, kita akan ker...

Ngobrol sambil lari?

Ngobrol sambil lari? Program baru Purworejo Folk di mana aku ngobrol sama orang random yang lagi lari di alun-alun Purworejo. Di balik keringat yang menetes dan napas yang tersengal, ada sesuatu yang lebih besar: otak kita, ternyata, jadi lebih hidup saat kaki melangkah. Benarkah? Mari kita selami, dengan hati terbuka. Dari sisi sains, lari itu seperti menyalakan mesin tua yang berderit-derit di gudang otak kita. Ketika kaki bergerak, jantung memompa lebih kencang, mengalirkan darah penuh oksigen ke otak. Ini bukan sekadar darah, ini seperti kurir kilat yang mengantarkan ide-ide segar ke pintu pikiran kita. Penelitian bilang, saat kita berlari, area prefrontal cortex, markas besar pemikiran jernih dan keputusan cerdas, berpesta pora. Bayangkan otakmu seperti alun-alun Purworejo kala libur panjang: ramai, penuh warna, dan tiba-tiba semua orang punya cerita menarik untuk diceritakan. Lalu ada endorfin, hormon ajaib yang muncul saat kita lari. Ini seperti sahabat kecil yang tiba-tiba munc...

Tarif parkir Purworejo: sedekah paksa yang mengakar.

Di tepi jalan Purworejo, roda-roda berhenti bukan hanya karena kebutuhan, tetapi juga karena tangan-tangan yang meminta lebih dari yang ditetapkan. Seribu rupiah, begitu kata Perda, adalah ongkos untuk menitipkan sepeda motor di pundak trotoar. Tapi, di banyak sudut kota ini, dua ribu rupiah menjadi “sedekah paksa” yang mengalir tanpa karcis, tanpa restu undang-undang, hanya disokong oleh kebiasaan yang terlanjur mengakar. Ini bukan soal pelit atau murah hati, teman. Ini soal amanah yang terparkir di sudut hati kita, soal keadilan yang terselip di antara deru mesin kendaraan.. Warung-warung kecil di Purworejo merintih. Bukan karena kopi mereka tak harum, bukan karena sambal mereka tak cukup pedas, tetapi karena tarif parkir yang “mencuri” seribu rupiah ekstra itu ibarat kerikil kecil yang mengganjal laju usaha mikro. UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat mulai goyah. Ada warung makan yang tutup, ada pedagang kaki lima yang kehilangan pembeli, hanya karena biaya parkir membu...

Kau berikan kesetiaan, aku berikan bahkan lebih.

Ada sesuatu tentang kesetiaan yang selalu membuat hati bergetar. Bukan karena ia megah seperti istana, atau gemerlap bak permata di mahkota raja. Tidak. Kesetiaan itu sederhana, namun dalam kesederhanaannya, ia menyimpan kekuatan yang mampu mengguncang dunia. Kau beri kesetiaan, dan aku, dengan segenap jiwa, akan memberikan lebih... lebih dari yang kau bayangkan, lebih dari yang kau harapkan. Kesetiaan bukanlah sekadar janji yang terucap di bibir, lalu lenyap disapu angin. Ia adalah pohon yang kau tanam di tanah gersang, kau sirami dengan air dari sumur hatimu, kau pelihara meski badai datang menerpa. Ia adalah pilihan setiap hari, setiap detik, untuk tetap berdiri di sisi seseorang, bahkan ketika dunia berbalik memusuhi. Kesetiaan adalah keberanian untuk memilih cinta, memilih kebenaran, memilih kebersamaan, meski jalan itu penuh duri. Kesetiaan bukanlah permainan satu arah. Ia adalah tarian dua jiwa, dua hati yang saling memilih, saling mengisi. Kau tak bisa menuntut kesetiaan jika k...

The kitchen of politics and our plate.

There’s a grand kitchen called politics. This kitchen is never quiet, always steaming, filled with aromas that tempt—sometimes fragrant, sometimes reeking with a stench that stings the nose. Inside, the chefs—the politicians—are busy concocting dishes. They stir pots, chop vegetables, season meat, and occasionally bicker fiercely over recipes. Some work with heart, striving to serve a delicious meal for all. But many others think only of praise, profit, or simply want their name remembered as the greatest chef. And us? We are the customers seated at the dining table, waiting for the dish to be served. Our plates are empty, our stomachs hungry, our hopes high. But are we wise enough to ask: What’s on my plate? Do we care enough to sniff the dish’s aroma, check its color, or even read the list of ingredients on the menu? Or do we simply swallow whatever is placed before us, never questioning whether it’s nutritious, high in calories, or—perish the thought—poisonous? Politics, they say, i...